Saturday, October 12, 2019

Merefleksikan Joker (1): Betulkah Orang Jahat adalah Orang Baik yang Tersakiti?


"Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti," begitu opini sebagian warganet usai menonton film Joker. Mereka memaklumi soal bagaimana Arthur Fleck menjadi Joker. 

Dalam Joker (2019), musuh Batman ini diceritakan sebagai penderita penyakit mental yang kerap dizalimi lingkungannya. 

Setelah keluar dari rumah sakit jiwa, Arthur yang bercita-cita menjadi komedian harus bekerja sebagai badut untuk menghidupi dirinya dan ibunya. 

Ia kerap digebuki hingga akhirnya dipecat sebagai badut sewaan. Tak ada teman untuk berkeluh kesah karena semua orang menganggapnya aneh. 

Sulitnya kehidupan di kota Gotham membuat Arthur semakin terpuruk. Terapi dan pengobatan untuknya dari Dinas Sosial bahkan terpaksa dihentikan. 

Arthur baru menemukan jati dirinya dan merasa bahagia ketika ia membunuh orang. Apalagi, ia dielu-elukan dan diikuti warga miskin Gotham yang muak dengan susahnya hidup. 

Benarkah kejahatan bersumber dari mental? 

Apa yang dialami Joker terkesan sangat mungkin terjadi di kehidupan nyata. 

Bukankah itu yang dialami para penembak di Amerika Serikat? 

Sebenarnya tidak juga. Penelitian berjudul Dangerous Weapons Or Dangerous People? The Temporal Associations Between Gun Violence And Mental Health pada tahun 2019 mengungkap bahwa penyakit mental bukan akar dari kekerasan dengan senjata api. 

Dari 663 responden yang diteliti, disimpulkan bahwa individu dengan perawatan mental yang memadai dan yang tidak, sama-sama punya dorongan kekerasan. 

Gejala penyakit mental ternyata tak berkaitan dengan kekerasan dengan senjata api. Faktor yang lebih mendorong yakni akses terhadap senjata api itu sendiri. 

Begitu juga menurut studi tahun 2015 berjudul Mass Murder, Mental Illness, and Men. Dari 235 pelaku penembakan massal, hanya 22 persen yang bisa dikategorikan sakit jiwa. 

Studi tahun 2016 berjudul Mental Illness and Reduction of Gun Violence And Suicide: Bringing Epidemiologic Research To Policy juga mengungkap hal yang sama. 

Mayoritas pengidap gangguan jiwa tidak terlibat aksi kekerasan dengan orang lain. Perilaku kekerasan lebih banyak disebabkan faktor di luar gangguan mental. 

Orang baik menjadi jahat 

Jika penyakit mental bukan pendorong orang melakukan kekerasan, maka bukankah benar, tekanan dari eksternal diri sebagai penyebabnya? 

Arthur Fleck hanya manusia biasa dengan sakit mental yang tidak diinginkannya. Kejamnya dunia yang membuatnya menjadi Joker. 

Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia Muhammad Mustofa menilai perilaku kekerasan bisa muncul dari perasaan terluka. 

"Teroris pada umumnya merasa sebagai pihak yang teraniaya. Untuk menghadapi pihak yang menganiaya secara langsung tidak mungkin. Jadi untuk menunjukkan eksistensi mereka melakukan serangan acak terhadap simbol lawan," kata Mustofa. 

"Dendam" terhadap perlakuan buruk yang diterima individu, menurut Mustofa hanya tergantung persepsi. 

Jika teroris memilih menyerang pihak yang dimusuhinya seperti pihak asing atau kepolisian, maka pejuang memilih cara lain.


"Dalam perspektif yang lebih positif, pejuang kemerdekaan memilih cara gerilya dalam menghadapi penjajah. Namun ada pula yang memilih cara damai seperti Nelson Mandela. Jadi ini persoalan pilihan mana yang dipandang lebih efektif," ujar Mustofa. 

Namun tak semua kejahatan bermula dari perasaan tersakiti. Hal itu terjadi umumnya kepada penjahat jalanan. Koruptor misalnya, melakukan kejahatan bukan karena ia tersakiti. 
"Penjahat terhormat (white-collar criminal) tidak pernah memperoleh perlakuan yang menyakitkan dari masyarakat," kata Mustofa. 

Ada teori "labelling" yang menyatakan individu bisa menjadi penjahat karena menghayati label yang disematkan padanya. Ini juga biasa terjadi pada penjahat jalanan. 

Selain itu, kejahatan juga bisa muncul dari kebiasaan. Dalam pandangan kriminologi sosial, habitual crime adalah produk dari masyarakat. 

Individu yang bersosialisasi dengan orang-orang yang sudah melakukan tindak pidana, bisa dengan mudah ikut melakukan hal yang sama. 

Lagi-lagi, keputusan untuk menjadi jahat kembali ke masing-masing individu. Kerasnya kehidupan tak melulu membuat orang menjadi agresif dan jahat. 

"Banyak pilihan untuk menyelesaikan masalah. Apalagi apabila tradisi budaya dan adat istiadat dipelihara dan dijunjung tinggi," kata Mustofa.

No comments:

Post a Comment